SENDI PRAWIRA

Kawan, konon sekarang dilarang keras untuk berfikir negatif tentang nasib Cianjur. Maka apabila tanah kelahiran kita ini nantinya menjadi daerah yang jauh dari harapan bahkan sulit kita kenali lagi, Sikap berfikir negatif yang mengarah pada perlawanan kesewenang wenangan dan sikap sentimentil, akan membuat kita jadi Salim Kancil versi Cianjur. Kawan tidak percaya? Silahkan coba!
Kawan-kawanku yang baik hatinya, mungkin kalian melewatkan tayangan tvone tentang perpindahan kepemilikan lahan pribumi di Cianjur menjadi hak milik pengusaha sekaligus penguasa. Bisa dibayangkan, sawah seluas 68 hektar di Pasir Nangka - Sukaluyu milik warga satu kampung, menjadi milik satu orang saja. Luar biasa bukan?
Kawan, tidakkah takut bila satu hari nanti Cianjur akan segemerlap Ibu Kota? bila rentetan sawah Karang Tengah berubah menjadi pabrik megah, bila lahan luas di Jalan Baru menjadi pabrik sepatu, bila tanah Panembong menjadi pabrik kaos oblong dan bila sawah di Bojongpicung sudah dapat dihitung.
Kawan, mari kita saksikan, kelak sawah Haji Apen akan dikenang hanya lewat cerita saja. Luasnya kulah gurame milik Kang Kurdi hanya akan menjadi pengantar lelap sang buah hati, atau kebon pangan milik Kiai Sanusi hanya akan menjadi riwayat santri sebelum mengaji. Tentu hal ini akan terjadi bila kondisi Cianjur terus seperti ini.
Bukan pesimis Kawan, tapi alangkah baiknya dari sekarang hijrahlah ke kampung saudara seintim terdekat biar kelak tidak terlalu merasa kehilangan dan larut dalam kesedihan. Karena kawan sekalian harus move on juga kan? toh lambat laun kalian akan terusir juga kan? daripada bernasib seperti Haji Daud, pemilik sawah terluas di kampungnya yang sekarang jadi supir pribadi penguasa atas sawahnya yang luas itu.
Kasihan Haji Daud Kawan, sawahnya sekarang sudah sulit dikenali lagi, pabrik penggilingan padi yang dulunya mencolok besar di tengah sawah kini berada di tepian gang sempit berderet dengan pemukiman warga yang kena gusur. Hal-hal unik yang ada di kampungnya telah tertimbun pasir keserakahan akibat pembangunan mega proyek itu.
Pemuda di kampung Haji Daud tahu diri Kawan, mereka angkat kaki. Adapun yang gak bisa move on dan tetap tinggal, paling-paling jadi kuli, bekerja bertaruh nyawa mengangkat batu bata diatas ketinggian berbahaya. Dari penderitaan itu kemanjuran paling banter memihak pada Haji Daud yang menjadi supir pribadi punguasa itu. Walau harus siap mengantar siang atau malam, sore atau pagi. 
Anak dan istri Haji Daud sudah angkat kaki dari kampung dan memulih tinggal bersama mertuanya, hidup alakadarnya. Sangat berbeda saat kampungnya masih terjaga. Bagi Haji Daud dan keluarganya alih fungsi lahan tidak seperti apa yang di beritakan orang-orang tentang kemajuan sistem kerja dan moderenisasi satu wilayah. Tapi bagi mereka, tak lebih dari perampasan hak-hak kemanusiaan, dan pembunuhan warga pribumi.
Kawan, pengusaha itu mengeruk sawah mereka, menimbunya dengan beton-beton yang di angkut oleh truk tronton, lalu lalang di tengah warga yang hanya bisa menyaksikan dengan tumpuan dagu di tangan. Tak bisa melawan tak bisa banyak melarang. karena konon mereka tertib membayar pajak tapi tak faham UU No.41 Tahun 2009. 
Bilapun ada seorang pemuda berani tampil nyentrik, bersuara lantang dengan mengerahkan masa, menuntut penyediaan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan. Maka jangan heran bila keesokan harinya tersebar kabar seorang pemuda tewas mengambang di sungai Rajamandala. Dalihnya terpeleset dan terbawa arus. Walau di sekujur tubuhnya terdapat bekas hantaman, tidak akan dilakukan visum tidak akan pula diperpanjang. Kejadian ini akan dianggap murni kecelakaan. Padahal lebih dari itu kecelakaan sebenarnya adalah pelanggaran hak kemanusiaan.
Pun bila mana ada seorang wartawan berani memperpanjang masalah ini dengan mengangkat bukti dan beberapa analisa terkait adanya dugaan pembunuhan. Maka bisa dipastikan keesokan harinya sekonyong-konyong pasir proyek akan menimbun wartawan itu bersama motor dan kameranhya. Lalu setelah kejadian itu Cianjur akan bungkam, tak terdengar hawar-hawar pembunuhan, tak ada kabar penindasan kesewenang-wenangan, semuanya diam tak mau tahu. Dua kejadian itu efektif menjadi lakban untuk menutup mulut pribumi.
Kawan, saat ini begitu doyannya maut mengintai orang yang banyak mulut. Sentimentil adalah keharaman mutlak bagi pribumi kecuali bagi mereka yang ingin bernasib seperti sawah-sawah mereka sendiri, bedanya nanti yang di keruk bukan lagi tanahnya, melainkan isi tubuh mereka sendiri. Ditimbun lalu dibiarkan bertahun-tahun.
Kawan, akan tiba masa dimana tvone sudah tak memberitakan semua kekacauan ini atau media lainnya yang juga tak ingin sentimentil. Kalaupun sudah demikian, maka Kawan semua tak jauh beda nasibnya seperti pemuda dan wartawan tadi. Bedanya Kawan ditimbun oleh berita-berita rekayasa hasil dari hegemoni penguasa dan pengusaha.
Kawan, sebagai penulis tentulah bukan tanpa pertimbangan untuk menuliskan semua ini, tapi mau diapakan lagi kalau rasa sentimentil ini selalu datang tanpa diundang tiap mengingat kembali bagaimana sawah nenek moyang saya diratakan. Tak berdaya saya untuk melawannya, ibarat kurcaci habislah diinjak mati sedang para kurcaca nyanyi tralala. Demikian potongan bait dari lagu Iwan Fals berjudul Bunga Trotoar.
Kawan, terakhir bilamana besok terdengar kabar telah ditemukan mayat seorang tanpa KTP di pinggir Jalan Baru Rawa Bango, tentu Kawan pasti sudah tahu siapa mayat itu.

Jakarta, Rabu 25 November 2015

selengkapnya …