Tak sampai hati aku menerima kabar atas apa yang sedang menimpa
dirimu. kau nyaris hidup tanpa harapan, terjerat dalam keputusasaan mutlak.
Kenapa kau lakukan ini justru ketika semua kawan satu perjuangan sedang asik
berujar tentang kesuksesan pada reuni yang tengah diadakan. Tak bisakah kau
menjelaskan langsung isi pesan yang kau kirim, “maaf kawan aku tak bisa hadir,
karena hidupku hanya tersisa dua hari sebelum eksekusi dilaksanakan. Aku harap
kau dan kawan-kawan mengadakan tahlilan rutin selama 7 hari untuk mendoákan
arwah seorang bandar heroin supaya tetap diterima disisi-Nya. Dan sebelum
kematianku. Aku ingin sekali bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya.
Hanya kau, tidak untuk yang lain.”
Mega kelabu menutupi lembayung senja yang bernaung di langit
petang, hujan tak henti berderai rinai, seakan menangisi dahsyatnya kesedihan
yang tengah melanda hatiku. Langkah ini tergesa tak hiraukan gendangan air yang
beberapa kali terinjak sehingga membasahi celanaku. Aku ingin segera melewati
pelataran LP ini yang begitu luas dan ingin segera bertemu denganmu yang malang
tak kepalang. Namun ketika ku menemuimu, kau tampak sangat berantakan. Rambutmu
kusut semerawut, kelopak matamu hitam membiru, jelas kau tak akan bisa tidur.
Badanmu kurus kering karena senikmat apapun makanan, bagimu tak ubahnya sekedar
benda hambar pengisi perut.
*
Padahal aku masih ingat dimana masa gelap dan kelam sisi hidupku
telah kau beri secercah cahaya sehingga benderang seperti saat ini. Hari aku
tak bisa membayar tumpukan utang atas “barang” yang beberapa kali ku pesan dari
pengedar. Aku dikejar, mereka mengancam nyawaku, bila tak juga bisa membayar
tumpukan untung itu.
“Arfan.. sedang apa kamu disini?” Kau heran melihat aku bermuka
cemas penuh ketakutan. Saat itu kau hendak pergi mengumandangkan adzan di
masjid. sampai mendapatiku tengah dikejar oleh dua orang pengedar yang
mengancam hidupku.
“Reza. Tolong aku za, selamatkan aku. Sembunyikan aku dari dua
orang yang sekarang sedang mengejarku.”
“Apa masalahmu, kenapa kamu dikejar?”
“Nanti aku ceritakan, yang penting sekarang tolong selamatkan aku.”
Kau kebingungan mencari cara untuk menyembunyikannku. Sampai seketika
kau langsung melucuti semua pakaianmu, dan menyuruhku untuk memakainya. Baju
taqwa, sarung, dan kopiyah semua itu aku pakai. Aku tau maksudmu untuk
menyamarkan penglihatan dua orang bandar yang tengah mengejarku sehingga mereka
kira aku adalah ahli masid. Namun penyamaran masih belum cukup aman karena
wajahku masih bisa terlihat jelas. Akhirnya kau merelakan satu-satunya milikmu
yang berharga, yaitu sorban hijau pemberian almarhum ayahmu. Yang aku tahu
sorban itu sangat kau sakralkan. kau selalu memberinya wangi-wangian setiap
waktu shalat tiba, kau lantunkan ayat Allah disetiap basuhan kala kau
mencucinya, Sorban itu selalu kau sertakan untuk menampa tetesan air mata kala
mengiba saat malam dipenghujungnya. Sorban itu selalu
bersama kala tangan menengada di waktu duha, dan aku tahu kau tak akan meminjamkannya kecuali engkau sendiri yang berhak
memakainya.
Namun apa yang ada dipikiranmu sehingga kau rela meminjamkannya
kepada seorang pecandu bejad sepertiku. Kau memakaikannya tepat dikepalaku,
membiarkan kedua ujung sorban itu terurai seperti rambut panjang yang menutupi
muka. Kau langsung menyuruhku masuk kedalam masjid untuk melakukan shalat,
sementara diluar dua orang bandar itu tak mengira bahwa seorang yang tengah
shalat dalam masjid adalah aku, kau ditanya oleh dua orang bandar itu. Tentu
kau sangat menyesali karena terpaksa berbohong tidak melihatku, namun
belakangan aku tahu kau lebih faham tentang hukum berbohong yang dibolehkan.
Dan hari itulah hari dimana aku diselamatkan oleh seorang soleh ahli masjid
sahabatku. Kau, kaulah orangnya kawan.
“Terimakasih Za. Kau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Cepat kau sembunyi di kosanku, disini belum aman.” Ujarmu sambil
menarik tanganku, berlari menuju kosanmu.
Dikosan mu aku tak henti-hentinya mengucapkan terimakasih kepadamu.
Namun kau sangat mencemaskanku, sehingga kau bertanya.
“Arfan. tolong ceritakan kepadaku apa yang terjadi?”
Ku ceritakan semua sisi kelam hidupku. Lambat laun terhujamlah
petuahmu pada setiap sel darahku, pada otak dan pikiranku, hingga merebak pada
nadi sanubari. Sebuah pesan yang menyibak tirai penghalang dari semburat sinar
kebenaran yang tak pernah tembus pada ruang gelap sisi hatiku. Hari itu. aku
terbangun dari tidur panjang dan mimpi buruku. tentang jeruji besi, panti
rehabilitasi, sakau, over dosis. atau semua musibah yang akan aku alami. hari
itu aku memutuskan untuk bertaubat dari semua barang haram yang selalu
menyertaiku.
“Alhamdulillahirabil’alamin, aku akan pegang janjimu.” Demikian
ucapmu lembut setelah aku menyatakan untuk taubatan nasuha.
“Dan kamu harus berjanji untuk selalu menjaga kehormatan sorban
itu.” Lanjutmu seraya menujuk sorban yang tengah aku pakai.
“So.. so.. so.. sorban ini?” aku gelagapan, heran apa maksudmu.
“Yah. Sorban itu sekarang menjadi milikmu.”
“Tapi kan Za.. ini sorban kesayanganmu, warisan berharga dari
almarhum ayahmu, aku tahu kau selalu berdzikir ketika kau mencucinya. Kau
selalu memberinya wangi-wangain dan aku tahu kau sangat mensakralkan sorban
ini. Tapi sekarang kau malah memberikannya kepada pecandu bejad sepertiku.”
“Anggaplah itu tanggung jawab besar bagimu, untuk selalu menjaga kehormatan
dengan selalu berbuat baik dan maslahat.”
“Aku kurang yakin tapi aku berjanji untuk bisa terus berbuat baik
bersama sorban ini. Terimakasih kawan.”
Dan hari itu adalah titik balik menuju masa cerah sisi hidupku. Aku
bisa merasakan hembusan nafas kebebasan dari kutukan obat yang menghancurkan
hidupku bertahun-tahun. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama sampai dua
orang bandar itu mengetehui bahwa aku bersembunyi dikosanmu, mereka mendobrak
pintu dan menerobos masuk ke kedalam. Mereka menghajar kita tanpa ampun,
benturan pukulan dan hempaskan tendangan menjadi penderitaan kita saat itu.
Hingga aku tersudut dengan sebilah belati menodong tepat dihadapanku.
“Hey bocah tengik. Aku beri kau kesempatan terakhir untuk melunasi
semua hutangmu.”
“Ta.. tapi bang aku gak punya uang sebanyak itu.”
“Kalau begitu. Kau terpaksa membayarnya dengan nyawamu.”
Namun detik-detik terakhir sebelum belati itu menyentuh tubuhku kau
lantang berteriak.
“Tunggu... aku akan membayarnya.”
Hujaman belati dihentikan, seketika mereka menoleh kearahmu.
“Kau ambil semua uang di lemari itu, dan lepaskan temanku.”
Tak akan ku lupa jasamu merelakan semua uang yang kau miliki untuk
menebus nyawaku. Padahal aku tahu uang itu untuk tunggakan kosanmu selama satu
tahun. Kau mengajariku keikhlasan, kau menyadarkanku arti ketulusan, dan betapa
kau menghargai sebuah kesucian hati untuk taubat.
*
Namun sekarang, hanya berselang 10 tahun kau tak ubahnya lilin yang
lambat laun akan meleleh, pelajaranmu seperti fajar yang menyingsing di ufuk
timur. Sinarnya semakin redup, semakin tak nampak. Kau nodai petuahmu dengan
dalih roda nasib yang berputar, kau bersikeras dengan anggapan bahwa nasib
manusia tak menentu. Aku masih bisa setuju dengan semua itu. Tapi menjadi
pengedar heroin dan divonis hukuman mati? ah... itu meruntuhkan semua
pendapatmu. Kau mengecewakanku, kau mengecewakan dirimu sendiri dan kau
mengecewakan sorban pemberianmu. Aku kecewa padamu kawan, sangat kecewa.
“Kalaulah bukan karena penyergapan sekelompok orang itu, mungkin
aku masih bisa hidup lebih lama.” Kau angkat bicara.
“Dan kalau bukan karena kau melanggar petuahmu sendiri. Kau tak
akan mati... tak akan mati...” tak ragu aku membentakmu. Kuguncangkan bahumu
sekeras-kerasnya, berharap mengeluarkan setan yang sedang bersemayam dalam
tubuhmu.
“Persetan dengan semua petuah itu, caci aku terus, bentak sesuka
hatimu, aku pantas menerimanya. Semua tak akan mencegah maut yang akan
menjemputku.” tak kalah ujarmu menyamai bentakanku.
Aku langsung memelukmu erat-erat, mendekapmu sepenuh hati, tak rela
melepas kepergianmu. hingga waktu kunjunganku berakhir dan kita harus dipisahkan
oleh sipir LP yang menyeretmu kembali secara paksa. Tak henti derai air mata
ini mengalir. Aku hanya bisa berdo’a supaya engkau mendapat tempat yang layak
di sisi-Nya.
Kutembus derasnya hujan di luar, segera ku masuki kendaraanku.
Termenung sejenak dalam kesunyian, sampai kuputar leher ini kearah kursi
belakang. memandangi sorban hijau itu tergeletak dengan sebuah peci putih
tertungkup di atasnya. betapa sorban itu menyisakan segurat catatan pedih sisi
hidup seseorang. Namun aku berusaha untuk membuang jauh-jauh semua catatan itu.
Karena aku harus mengirim sebuah sms.
“Asslamu’alaikum. Aksi selanjutnya pembebasan zona narkotika di
lokalisasi yang sudah menjadi target kita. Salam juang FPI.”
Kuraih peci serta sorban itu. Mengenakannya dengan penuh keyakinan. Terlihat derasnya hujan memperlihatkan mobil yang pergi
ke-kejauhan.