SENDI PRAWIRA

Sahabat, hari itu terulang lagi. Hari dimana kau memintaku menarik dasi dari lehermu untuk terlihat rapih ketika hendak dipanggil naik ke atas panggung. Namun tak ku sangka hari yang ku ulangi ini berubah menjadi haflah yang benar-benar wada. Ketika satu persatu dari kita disebut, dengan bangga kita tampil. Namun ketika kau yang di panggil mengapa kau tak kunjung tampil. satu, dua, tiga, empat. semua sahabat tak percaya. Namun ku buktikan dengan saksi sejuta lilin dalam gelap. Baru semua percaya dalam hitungan lima panggilan akan sia-sia. Hitungan enam pun sama. Sampai hitungan sepuluh. Terdengar sebuah ledakan yg kerasnya melebihi dentum meriam. Ledakan itu adalah tanda bahwa banjir air mata kan melanda, lalu ku panggil Ziz, Jang, Za, Den, Mo? semua hanya menundukan kepala dan berkata lonceng bertingkah tak semestinya Sen. Sementara cermin yang memantulkan dirimu telah retak di depan surau tempat dimana do'a-do'a kau ucap. Satu hari ku ingat ketika kau bicara tentang cita-cita, mimpi dan harapan. Semua kau bagi dalam satu lemari, tertata rapih untuk di perjuangkan bersama. Kini hanya memory yang masih menyimpan mimpi-mimpi itu. Tak ayal fajar yang menyingsing di ufuk timur sinarnya redup semakin tak nampak. Aku tetap terdiam sementara panggilan terus di ulang. Aku merasa kau tak kemana-mana setelah kau meminta, apabila sudah naik ke atas panggung, menerima mendali dari pak Kiai, kau ingin berfoto dengan keluarga tercinta. Aku meng-iya-kan semua itu. Tapi mengapa kau tak kutemui sekarang? Malah Kau menjawabnya dengan sebongkah nisan kebanggaan, dengan sebalut kafan do'a-do'a. Dari semua yg menyaksikan kau tak kunjung datang. Panggilan telah usai gema adzan asar mengungkap arti kau tak kan kembali, setelah kami mendapati pesan singkat darimu dalam mimpi "Kawan lonceng bertingkah sebagaimana mestinya".
Didedikasikan untuk sahabatku yg telah tenang di alam sana. SULAEMAN
selengkapnya …