SENDI PRAWIRA


Sekarang pukul setengah satu lebih lima di tempatmu. aku bisa mengetahuinya dari waktu adzan antara Bandung dan Cianjur yang berbeda hanya dua menit.
kulit wajahmu pasti sedang terlipat diantara kerutan bantal. rambutmu yang menumpuk karena kau tidur terlungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. tanganmu selalu tampak menggapai, apakah itu yang selalu kau cari dibawah bantal?
aku selalu ingin mencuri waktumu. menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa terpilin masuk kedalam lipatan seprai tempat tubuhmu sekarang berbaring.
Sudah hampir 3 tahun aku begini. Dua puluh delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 4.354.560.000
Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta padamu dikelas itu. Angka itu bisa lebih fantastis kalau ditarik sampai skala nano. Silahkan cek. Dan aku berani jamin engkau masih ada disitu. Ditiap inti detik, dan didalamnya lagi, dan lagi, dan lagi.
Penunjuk waktuku tak perlu mahal-mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus moralitas. Rolex tak mampu berikan itu.
Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu. Kejujuran sudah seperti riasan wajah yang menor, tak terbayang menambahinya lagi dengan rayuan. Angka miliyaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tidak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus.
Sekarang pukul dua tiga puluh di tempatmu. Tak terasa sudah satu jam aku disini. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon kedalam rekening waktuku. Terimakasih. Aku semakin kaya saja. Andaikan bisa ku tambahkan satuan rupiah, atau lebih baik lagi, dolar, dibelakangnya. Namun engkau tak ternilai. Engkau adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang ditengah-tengah. Sensasi Ilahi. Tidak dolar, tidak juga yen, mampu menyajikannya.
Aku tak pernah tahu keadaan tempat tidurmu. Bukan aku yang sering ada disitu. Entah siapa, mungkin Cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kata bersaing dengannya. Aku iri pada baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling.. sudah stop. Aku tak sanggup melanjutkan. Membayangkannya saja ngeri. Apa rasanya dipeluk dan didekap tanpa pretensi? Itulah surga. Dan manusia perlu ibadah jungkir balik untuk mendapatkannya? Hidup memang bagaikan mengitari Gunung Sinai. Tak diizinkannya kita untuk berjalan lurus-lurus saja demi mencapai tanah perjanjian.
Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak dimana segalanya bisa bertemu, pastikan kau ada disana, tidak terbangun karena ingin pipis, atau mimpi buruk. Tunggu aku.
Begitu banyak yang ingin kubicarakan. Mari kita piknik, mandi susu, potong tumpeng, main pasir, adu jangkrik, balap karung, melipat kertas, naik getek, tarik tambang.. tak ada yang tak bisa kita lakukan, bukan? Namun, kalau boleh memilih satu: aku ingin mimpi tidur disebelahmu. Ada tanganku dibawah bantal, tempat jemarimu menggapai-gapai.
Tidurku meringkuk kesebelah kanan sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku disana. Rambutku yang berdiri liar dan wajahmu yang tercetak kerut seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang dipagi hari. dengan muka berkilap, bau keringat, gigi bermentega, dan mulut asam… mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa “selamat pagi!

2 Responses so far.

  1. Chika says:

    sendicunai x g da lg y???
    keliatannya dah jd sendi prawira sang pujangga neh,hehe
    nice template..

  2. Chika says:

    sendicunai x g da lg y???
    keliatannya dah jd sendi prawira sang pujangga neh,hehe
    nice template..